Opini ini pernah dimuat HU Flores Pos, 8 Agustus 2010
PARIWISATA: “MIMPI BESAR” YANG MENJANJIKAN
PARIWISATA: “MIMPI BESAR” YANG MENJANJIKAN
Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik dan
Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta-Tubel Pemkab Sikka)
Menyadari keterbatasan
potensi sumber daya alam (SDA) di Nusa Tenggara Timur(NTT), maka Pariwisata
adalah pilihan yang tepat untuk mendinamisasi perekonomian Daerah. Peta potensi
pariwisata NTT secara keseluruhan sesungguhnya sangat prospektif jika dikelola
secara serius dan berkesinambungan. Asumsinya, jika pengembangan sarana dan
prasarana pariwisata ditata secara baik didukung dengan promosi yang gencar,
mampu mengundang banyak wisatawan, maka sektor-sektor lainnya akan bergerak
mengikuti atau meningkat secara signifikan. Sektor
pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel, restoran, industri berbasis potensi
lokal dan
lain-lain akan terstimulisasi secara positif.
Banyak upaya yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten se-NTT dalam mengembangkan
sektor pariwisata, namun “efek berganda” yang diharapkan akan mendinamisasi
perekonomian daerah harus diakui belum maksimal. Gebrakan Gubernur Lebu Raya
untuk “back to basic” mendayagunakan potensi lokal haruslah direspon sebagai
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari semua sektor, bukan hanya
sekedar memanfaatkan(baca:mengkonsumsi sendiri) potensi yang ada tetapi lebih
dari itu, bagaimana potensi lokal tersebut diberdayakan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Robert Wood, menulis, “…pariwisata dapat memperkuat
kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan cara menambah kebanggaan setempat dan
membuat kerajinan tangan dan kegiatan-kegiatan tradisional lainnya menjadi
layak dikembangkan secara ekonomi(dalam: Dr. Yekti Maunati, Identitas
Dayak,LKiS,Yogyakarta,2004:43). Dengan
demikian, pariwisata juga sebenarnya mampu “meregenerasi” tradisi-tradisi
komunitas adat yang mulai terkikis modernisasi di satu sisi dan memberi
keuntungan ekonomis di sisi lain.
Berdasarkan laporan dari
World Trade and Tourism Council (WTTC, 1999), secara global di tahun 1999
pariwisata menghasilkan pendapatan sebanyak 3,5 triliun US$ dan menyediakan lapangan
pekerjaan sebanyak 200 juta. Laporan WTTC juga menambahkan bahwa di kebanyakan
Negara, wisata pesisir merupakan industri wisata terbesar dan memberikan
kontribusi yang signifikan bagi PDB (sekitar 25 % dari total PDB). Di Bali
sebagai contoh sumbangan kumulatif sektor pariwisata terhadap PDRB mencapai 70
% (1999) walaupun tragedi WTC New York dan Bom Bali menyebabkan penurunan
pendapatan menjadi 60 % tahun 2000 dan 47% tahun 2002 (Bali Post, 2003).
Jika seluruh potensi
pariwisata dikelola secara baik maka bukan mustahil kita mampu bersaing dengan Bali. Paket-paket wisata dengan rute Bali,
NTB dan NTT sudah cukup banyak meskipun masih insidentil dan parsial.
Persoalannya adalah “peluang” tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal agar
wisatawan yang melewati daerah kita “betah” untuk menikmati paket-paket wisata
yang menarik. Beberapa Daerah telah menangkap peluang tersebut secara baik
tetapi dampak positif ekonomisnya masih
terkonsentrasi pada titik-titik lokasi pariwisata tersebut. Di Moni Kabupaten
Ende misalnya, daya tarik danau tri warna Kelimutu telah menstimulasi
bergeraknya sektor-sektor lain seperti jasa, penginapan, restaurant,
transportasi, industri souvenir dan lain-lain.
Keindahan pesisir pantai
maupun potensi kelautan yang menjanjikan pun belum dikelola secara maksimal.
Masih banyak ruang terbuka pantai yang dibiarkan merana seolah tak bertuan.
Dengan topografi yang unik, berbukit-bukit, tebing-tebing tinggi yang curam
maupun hamparan padang
ilalang yang belum tersentuh, sesungguhnya dapat dibangun berbagai prasarana
dan sarana pendukung pariwisata. Dalam konteks ini, koordinasi lintas sektor
merupakan suatu keharusan, mulai dari perencanaan tata ruang, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, agar dampak negatif
proses kontruksi dapat diminimalisir.
Disamping itu, situs-situs
bersejarah yang bernilai historis tinggi perlu dilestarikan keberadaannya.
Peningkatan akses mobilitas ke titik-titik lokasi tersebut dapat memudahkan
wisatawan untuk menentukan rute dan waktu perjalanannya. Lebih menarik lagi,
jika di lokasi-lokasi tersebut para wisatawan dapat disuguhi pertunjukan
ritus-ritus adat maupun atraksi-atraksi tradisional yang telah dikemas secara
baik sebagai suguhan yang memikat wisatawan. Stuart Hall berpendapat bahwa etnis-etnis lain yang eksotik dan murni
adalah sebuah fantasi Barat(dalam Yekti Maunati,2004:45). Dengan memahami
orientasi wisatawan (khususnya mancanegara), kita dapat melakukan banyak
terobosan untuk “menghidupkan kembali” kesenian-kesenian
tradisional, tanpa harus menanggalkan modernitas yang terus bergerak maju.
Jika seluruh potensi
pariwisata telah dikembangkan secara baik, maka promosi baik melalui media
massa, brosur, website dan lain-lain adalah “sentuhan akhir yang indah” untuk
meyakinkan calon-calon wisatawan yang sedang merencanakan perjalanan wisatanya.
Dengan kebanggaan dan kepercayaan diri menampilkan visualisasi yang artistik,
kita berani berujar “welcome to my beautiful island”. Selamat datang di pulauku
yang indah dan menawan.
Pelibatan sektor swasta
secara intens dalam “mega proyek pariwisata” ini adalah suatu keharusan.
Kompensasi pembebasan pungutan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah(PAD)
seperti retribusi daerah, pajak daerah dan lain-lain untuk jangka waktu
tertentu bagi pemodal atau investor di sektor pariwisata adalah salah satu
langkah taktis dalam upaya mendinamisasi perekonomian Daerah untuk jangka
panjang. Jika dinamika perekonomian
daerah bergerak naik secara meyakinkan, maka peningkatan PAD sebagai salah satu
variabel esensial implementasi otonomi daerah dapat terpenuhi. Dengan lain
kalimat, ketergantungan Daerah pada Pusat akan berkurang secara signifikan.
Sekali lagi, “mimpi besar”
untuk mengubah “padang
ilalang, situs-situs tua, hamparan pasir-pasir pantai” menjadi tempat
pariwisata yang menjanjikan dan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung,
bukan mustahil akan membawa masyarakat dengan berbagai latar belakang profesi
atau pekerjaan, menuju kesejahteraan. Dan kemandirian sebagai jiwa dari otonomi
daerah itu sendiri akan terwujud dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga!