Rabu, 19 November 2014

“MENDULANG EMAS” DI PUSARAN KEMISKINAN



Pos Kupang, 4 Maret 2014
“MENDULANG EMAS” DI PUSARAN KEMISKINAN
Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon,MA
(Alumnus Pascasarjana JPP Fisipol UGM, tinggal di Maumere)
      Judul tulisan ini terinspirasi dari program unggulan Pemkab Flores Timur yaitu Gerakan Membangun Ekonomi Masyarakat atau disingkat Gerbang Emas. Peningkatan ekonomi masyarakat (emas) merupakan salah satu langkah strategis untuk percepatan peningkatan kesejahteraan. Artinya, gerakan tersebut juga dapat dipahami sebagai spirit untuk membawa masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan. Tulisan ini tidak membahas “emas” dalam konteks Flores Timur semata, tapi NTT secara umum.
      Kemiskinan sepertinya telah menjadi identitas ke-NTT-an. Nagekeo KLB Gizi Buruk; tiga meninggal dunia, satu dirawat (PK,6/2), Indeks Pertumbuhan Manusia NTT berada di urutan tiga terbawah sebelum Papua dan NTB (PK,24/1) dan banyak lagi litani kemiskinan yang didendangkan dalam nada getir sejak dulu hingga kini. Bahkan iklan sebuah produk sabun dengan gamblangnya menampilkan wajah NTT yang patut dikasihani, patut dibantu. Bisnis atau sosial? Entahlah!
Kemiskinan: siapa yang salah?
    Pertanyaan menggelitik tersebut menuntun kita untuk introspeksi bersama, mengapa masyarakat sulit keluar dari lingkaran kemiskinan? Sementara program pemberdayaan ekonomi masyarakat gencar dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten? Provinsi dengan “Anggur Merah”, Sikka dengan “Gelora”, Flores Timur dengan “Gerbang Emas”nya, “Perak” di Ngada dan lain-lain.
    Dalam banyak hal, Negara (Pemerintah) dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan. Meminjam beberapa teori (dalam Dahuri,2003), kemiskinan dapat ditelusuri dari tiga pendekatan yaitu struktural, kultural dan alamiah. Struktural, jika terjadi ketimpangan distribusi sumber daya karena struktur sosial yang ada. Hanya masyarakat yang dekat dengan kekuasaan yang mampu mengakses resources yang tersedia. Artinya, Negara lalai. Negara tidak hadir ketika kaum marginal membutuhkan bantuan.
    Sementara pendekatan kultural melihat kemiskinan karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai – nilai budaya lokal yang memang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Dan pendekatan alamiah melihat kemiskinan lebih karena kondisi sumber daya alam yang ada tidak mendukung mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks masyarakat agraris, dapat digambarkan dengan gersangnya lahan.
    Mengacu kepada tiga pendekatan tersebut, ”introspeksi” kita tentu lebih mudah, lebih mengerucut. Negara boleh jadi lalai dalam beberapa kasus. Kondisi geografis NTT yang kepulauan, terbatasnya sumber daya dan terdapat beberapa wilayah yang terisolir merupakan tantangan Negara yang paling serius. Contoh kasus paling aktual adalah kelangkaan pasokan Sembako di Amfoang karena akses darat dan laut yang terputus (PK, 7/2/2014).
Di sisi lain, persoalan kultural juga harus diakui memberi kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kemiskinan. Budaya malas, pola hidup konsumtif ”besar pasak dari tiang”, perjudian, dan lain-lain menggiring masyarakat ke dalam jebakan kemiskinan yang permanen. Dan pendekatan alamiah adalah problem utama masyarakat NTT, seperti kondisi alam yang gersang, curah hujan yang rendah, dan lain-lain (Lihat opini Serman Nikolaus,M.Sc,PK, 25/2/2014).
    Untuk memastikan faktor mana yang paling dominan, perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang penyebab kemiskinan di NTT. Banyak perguruan tinggi yang dapat terlibat atau dilibatkan dalam proses ini. Setiap wilayah boleh jadi berbeda problematikanya. Karenanya, kebijakan pengentasan kemiskinan pun tentu berbeda pula, tidak ”pukul rata”.
”Gerbang Emas”: sebuah langkah strategis?
    Gerakan membangun ekonomi masyarakat mungkin terdengar ambisius di tengah semakin kokohnya kapitalisme global maupun lokal. Upaya membangun ekonomi kerakyatan untuk meningkatkan kesejahteraan telah dilaksanakan oleh Negara, sejak Orde Lama hingga kini. Namun demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadikannya hanya indah di atas kertas. Perlu komitmen yang kuat untuk membangun kembali kepercayaan rakyat yang telah lama ”pudar”, membangkitkan semangat kewirausahaan dan memanfaatkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin.
    Sederhananya, ekonomi kerakyatan harus dibangun berdasarkan apa yang ada dalam masyarakat, bukan ”diada-adakan” (top down). Harus ada upaya serius untuk mengidentifikasi potensi manusia dan alam di setiap wilayah. Ada pemetaan yang gamblang dan mudah dipahami oleh semua pihak tentang itu, sehingga proses perencanaan pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan lebih terarah dan tepat sasaran.
    Di sisi lain, merubah pola pikir masyarakat untuk keluar dari ”zona nyaman” (bekerja untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar) menjadi individu yang memiliki semangat kewirausahaan adalah kerja-kerja pemberdayaan yang wajib dilaksanakan oleh semua pihak (Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat itu sendiri).
    Jika semua itu dilaksanakan secara baik dan berkesinambungan pada setiap periode kepemimpinan di level Provinsi maupun Kabupaten, maka ”gerbang emas” diasumsikan mampu membawa masyarakat keluar dari jebakan kemiskinan permanen, menuju ke arah yang lebih sejahtera. Dengan demikian, NTT tidak lagi mendapat berbagai julukan ”miring”, tidak lagi menjadi obyek yang patut dikasihani, apa lagi ”dijual” untuk kepentingan kaum kapitalis. Semoga!
      
Komentar dengan Facebook
0 Komentar di Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar