“GELORA” MENGGAPAI ASA
Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon,S.IP, MA
(Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Sikka)
Judul tulisan ini terinspirasi dari tekad
Pemerintah
Kabupaten Sikka yang tertuang dalam RPJMD (2013-2018) yaitu
”Gelora” Sikka (Gerakan Ekonomi Lokal Rakyat Sikka) berbasis Desa membangun. Dalam
Kamus
Bahasa Indonesia(Depdiknas, 2008), gelora
berarti perasaan
yang seakan-akan bergolak hebat. Artinya, tekad tersebut juga dapat dipahami
sebagai semangat yang tinggi untuk membawa masyarakat keluar dari belenggu
kemiskinan. Pertanyaannya adalah mengapa masyarakat miskin?
Dalam banyak hal, Negara
(Pemerintah) dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan
kemiskinan. Meminjam beberapa teori (lihat Dahuri,2003), kemiskinan dapat
ditelusuri dari tiga pendekatan yaitu struktural, kultural dan alamiah.
Struktural, jika terjadi ketimpangan distribusi sumber daya karena struktur
sosial yang ada. Sementara pendekatan kultural
melihat kemiskinan karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada
nilai – nilai budaya lokal yang memang tidak kondusif untuk suatu kemajuan.
Pendekatan ini sering merujuk pada pemikiran Clifford Geertz tentang konsep shared proverty dan James Scott dengan
konsep etika subsistensi yang menekankan safety
first.
Dan
pendekatan alamiah melihat kemiskinan lebih karena faktor alamiah, bahwa
kondisi sumber daya alam yang ada tidak mendukung mereka untuk melakukan
kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks masyarakat agraris, dapat digambarkan
dengan gersangnya lahan.
Mengacu kepada tiga pendekatan tersebut,
”introspeksi” kita tentu lebih mudah, lebih mengerucut. Struktur sosial
boleh jadi penyebab ketertinggalan dan kemiskinan. Selain itu, kondisi
geografis yang mengakibatkan beberapa wilayah masih sulit mengakses sumber daya
ekonomi yang tersedia dan jauh dari sentra-sentra ekonomi. Sementara persoalan kultural juga harus diakui memberi
kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kemiskinan. Budaya malas, pola
hidup konsumtif ”besar pasak dari tiang”, perjudian, pesta biaya
tinggi dan lain-lain menggiring masyarakat ke dalam kubangan kemiskinan yang
permanen. Dan pendekatan alamiah adalah problem utama masyarakat NTT khususnya
Kabupaten Sikka, seperti kondisi alam yang gersang, curah hujan yang
rendah, dan lain-lain.
Untuk
memastikan faktor mana yang paling dominan, perlu dilakukan kajian yang
mendalam tentang penyebab kemiskinan di Kabupaten ini. Setiap wilayah desa atau
kecamatan boleh jadi berbeda problematikanya. Karenanya, kebijakan
pengentasan kemiskinan pun tentu berbeda pula.
Data menunjukan bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten
Sikka masih tinggi yaitu sebanyak 36.671 rumah tangga atau sebesar 57,03 % dari
total rumah tangga sebanyak 64.296 rumah tangga. Dan berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka, dari 216.687 orang angkatan kerja
dengan usia di atas 15 tahun sampai dengan tahun 2012, yang merupakan
penganggur terbuka adalah sebanyak 18.576 orang. Tingginya jumlah pengangguran
merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi tingginya angka kemiskinan di
Kabupaten Sikka (sumber: RPJMD Kabupaten Sikka).
Dalam konteks ini, kemiskinan bukan
sekadar isu tapi realitas yang terjadi dalam keseharian masyarakat kita.
Karenanya, Pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan di kabupaten ini
berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Spiritnya secara konseptual sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kabupaten Sikka
periode 2013-2018.
Kesadaran kolektif
Berbagai program pemerintah tidak akan
berjalan sebagaimana mestinya jika tidak didukung oleh semua pihak, baik
legislatif, dunia usaha, organisasi-organisasi non pemerintah dan masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh stakeholder untuk bahu membahu
melaksanakan proses pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
serta monitoring dan evaluasi. Hanya dengan kemitraan yang positif dan
konstruktif, segala upaya menjadikan masyarakat hidup lebih baik dapat
terwujud.
Pemerintah Kabupaten Sikka tentu tidak
bisa berjalan sendiri dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Karenanya, visi “Satu Sikka yang Mandiri dan
Sejahtera” sekaligus merupakan ajakan untuk menyatukan tekad, membangun
Kabupaten nyiur melambai ini sesuai bidang tugas masing-masing dalam bingkai
‘keSikkaan” secara menyeluruh. Keberagaman mestinya tidak dilihat sebagai
ancaman tapi potensi yang patut diberdayakan untuk menggapai kemandirian dan
kesejahteraan.
Gelora,
menuju perubahan
Gerakan
ekonomi lokal rakyat mungkin terdengar ambisius di tengah derasnya arus
globalisasi dan semakin kokohnya kapitalisme. Secara sederhana, upaya membangun
ekonomi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan telah dilaksanakan oleh
Negara, sejak Orde Lama hingga kini. Namun demikian, persoalan
keadilan dan pemerataan masih merupakan “PR” besar bagi Pemerintah dari periode
ke periode.
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, kemiskinan menjadi isu yang selalu digaungkan di
ruang-ruang publik. Karenanya, Gelora Sikka yang merupakan sebuah gerakan untuk
menjadikan masyarakat berdaulat secara ekonomi sesungguhnya sangat tepat dan
strategis.
Pemerintah bertekad untuk mengembangkan pelayanan publik melalui pengalokasian
anggaran pembangunan yang lebih besar pada program/kegiatan sektor unggulan dan
sektor yang mendukung sektor unggulan; peningkatan tanaman Perkebunan, unggulan
perikanan budidaya, perikanan tangkap; Unggulan Wisata Bahari, Unggulan Wisata
Alam, Unggulan Wisata Budaya dan Religius serta ekonomi kreatif khas destinasi
wisata sebagai daya ungkit pembangunan demi terwujudnya kemandirian masyarakat
(RPJMD).
Efek berganda Pariwisata
Pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan adalah pilihan yang tepat
untuk mendinamisasi perekonomian Daerah. Asumsinya, jika pengembangan sarana
dan prasarana pariwisata ditata secara baik didukung dengan promosi yang
gencar, mampu mengundang banyak wisatawan, maka sektor-sektor lainnya akan
bergerak mengikuti atau meningkat secara signifikan. Sektor pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel, restoran, industri berbasis
potensi lokal dan
lain-lain akan terstimulisasi secara positif (Bagian selanjutnya merupakan
rangkuman dari Opini Yohanis Yanto Kaliwon, Pariwisata: Mimpi Besar Yang
Menjanjikan, Flores Pos, 20/8/2010).
Robert Wood, menulis, “…pariwisata dapat memperkuat kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan
cara menambah kebanggaan setempat dan membuat kerajinan tangan dan
kegiatan-kegiatan tradisional lainnya menjadi layak dikembangkan secara ekonomi(dalam:
Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak,LKiS,Yogyakarta,2004:43).
Dengan demikian, pariwisata juga sebenarnya mampu “meregenerasi”
tradisi-tradisi komunitas adat yang mulai terkikis modernisasi di satu sisi dan
memberi keuntungan ekonomis di sisi lain.
Jika seluruh potensi pariwisata dikelola secara baik maka
bukan mustahil kita mampu bersaing dengan Bali.
Paket-paket wisata dengan rute Bali, NTB dan
NTT sudah cukup banyak meskipun masih insidentil dan parsial. Persoalannya
adalah “peluang” tersebut belum
dimanfaatkan secara maksimal agar wisatawan yang melewati daerah kita “betah”
untuk menikmati paket-paket wisata yang menarik. Beberapa Daerah telah
menangkap peluang tersebut secara baik tetapi
dampak positif ekonomisnya masih terkonsentrasi pada titik-titik lokasi
pariwisata tersebut.
Disamping itu, situs-situs bersejarah yang bernilai
historis tinggi perlu dilestarikan keberadaannya. Peningkatan akses mobilitas
ke titik-titik lokasi tersebut dapat memudahkan wisatawan untuk menentukan rute
dan waktu perjalanannya. Lebih menarik lagi, jika di lokasi-lokasi tersebut
para wisatawan dapat disuguhi pertunjukan ritus-ritus adat maupun
atraksi-atraksi tradisional yang telah dikemas secara baik sebagai suguhan yang
memikat wisatawan. Stuart Hall berpendapat bahwa etnis-etnis lain yang eksotik dan murni adalah sebuah fantasi Barat(dalam
Yekti Maunati,2004:45). Dengan memahami orientasi wisatawan (khususnya
mancanegara), kita dapat melakukan banyak terobosan untuk “menghidupkan
kembali” kesenian-kesenian tradisional,
tanpa harus menanggalkan modernitas yang terus bergerak maju.
Jika seluruh potensi pariwisata telah dikembangkan secara
baik, maka promosi baik melalui media massa, brosur, website dan lain-lain
adalah “sentuhan akhir yang indah” untuk meyakinkan calon-calon wisatawan yang
sedang merencanakan perjalanan wisatanya. Dengan kebanggaan dan kepercayaan
diri menampilkan visualisasi yang artistik, kita berani berujar “Selamat Datang”
di Kabupatenku
yang indah dan menawan.
“Mimpi besar” untuk mengubah
“padang
ilalang, situs-situs tua, hamparan pasir-pasir pantai” menjadi tempat
pariwisata yang menjanjikan dan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung,
bukan mustahil akan membawa masyarakat dengan berbagai latar belakang profesi
atau pekerjaan, menuju kesejahteraan.
Dengan demikian, dalam semangat yang meng”Gelora”, kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat dapat
terwujud dalam bingkai “Satu Sikka yang Mandiri dan Sejahtera” akan tercapai. Semoga!