Minggu, 16 November 2014

“GELORA” MENGGAPAI ASA



“GELORA” MENGGAPAI ASA
Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon,S.IP, MA
(Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Sikka)

      Judul tulisan ini terinspirasi dari tekad Pemerintah Kabupaten Sikka yang tertuang dalam RPJMD (2013-2018) yaitu ”Gelora” Sikka (Gerakan Ekonomi Lokal Rakyat Sikka) berbasis Desa membangun. Dalam Kamus Bahasa Indonesia(Depdiknas, 2008), gelora berarti perasaan yang seakan-akan bergolak hebat. Artinya, tekad tersebut juga dapat dipahami sebagai semangat yang tinggi untuk membawa masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan. Pertanyaannya adalah mengapa masyarakat miskin?
       Dalam banyak hal, Negara (Pemerintah) dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan. Meminjam beberapa teori (lihat Dahuri,2003), kemiskinan dapat ditelusuri dari tiga pendekatan yaitu struktural, kultural dan alamiah. Struktural, jika terjadi ketimpangan distribusi sumber daya karena struktur sosial yang ada. Sementara pendekatan kultural melihat kemiskinan karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai – nilai budaya lokal yang memang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Pendekatan ini sering merujuk pada pemikiran Clifford Geertz tentang konsep shared proverty dan James Scott dengan konsep etika subsistensi yang menekankan safety first.
       Dan pendekatan alamiah melihat kemiskinan lebih karena faktor alamiah, bahwa kondisi sumber daya alam yang ada tidak mendukung mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks masyarakat agraris, dapat digambarkan dengan gersangnya lahan.
    Mengacu kepada tiga pendekatan tersebut, ”introspeksi” kita tentu lebih mudah, lebih mengerucut. Struktur sosial boleh jadi penyebab ketertinggalan dan kemiskinan. Selain itu, kondisi geografis yang mengakibatkan beberapa wilayah masih sulit mengakses sumber daya ekonomi yang tersedia dan jauh dari sentra-sentra ekonomi. Sementara  persoalan kultural juga harus diakui memberi kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kemiskinan. Budaya malas, pola hidup konsumtif ”besar pasak dari tiang”, perjudian, pesta biaya tinggi dan lain-lain menggiring masyarakat ke dalam kubangan kemiskinan yang permanen. Dan pendekatan alamiah adalah problem utama masyarakat NTT khususnya Kabupaten Sikka, seperti kondisi alam yang gersang, curah hujan yang rendah, dan lain-lain.
       Untuk memastikan faktor mana yang paling dominan, perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang penyebab kemiskinan di Kabupaten ini. Setiap wilayah desa atau kecamatan boleh jadi berbeda problematikanya. Karenanya, kebijakan pengentasan kemiskinan pun tentu berbeda pula.
      Data menunjukan bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Sikka masih tinggi yaitu sebanyak 36.671 rumah tangga atau sebesar 57,03 % dari total rumah tangga sebanyak 64.296 rumah tangga. Dan berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka, dari 216.687 orang angkatan kerja dengan usia di atas 15 tahun sampai dengan tahun 2012, yang merupakan penganggur terbuka adalah sebanyak 18.576 orang. Tingginya jumlah pengangguran merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Sikka (sumber: RPJMD Kabupaten Sikka).
      Dalam konteks ini, kemiskinan bukan sekadar isu tapi realitas yang terjadi dalam keseharian masyarakat kita. Karenanya, Pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan di kabupaten ini berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Spiritnya secara konseptual sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kabupaten Sikka periode 2013-2018.
Kesadaran kolektif
      Berbagai program pemerintah tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika tidak didukung oleh semua pihak, baik legislatif, dunia usaha, organisasi-organisasi non pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh stakeholder untuk bahu membahu melaksanakan proses pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta monitoring dan evaluasi. Hanya dengan kemitraan yang positif dan konstruktif, segala upaya menjadikan masyarakat hidup lebih baik dapat terwujud.
      Pemerintah Kabupaten Sikka tentu tidak bisa berjalan sendiri dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Karenanya, visi “Satu Sikka yang Mandiri dan Sejahtera” sekaligus merupakan ajakan untuk menyatukan tekad, membangun Kabupaten nyiur melambai ini sesuai bidang tugas masing-masing dalam bingkai ‘keSikkaan” secara menyeluruh. Keberagaman mestinya tidak dilihat sebagai ancaman tapi potensi yang patut diberdayakan untuk menggapai kemandirian dan kesejahteraan.
 Gelora, menuju perubahan
      Gerakan ekonomi lokal rakyat mungkin terdengar ambisius di tengah derasnya arus globalisasi dan semakin kokohnya kapitalisme. Secara sederhana, upaya membangun ekonomi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan telah dilaksanakan oleh Negara, sejak Orde Lama hingga kini. Namun demikian, persoalan keadilan dan pemerataan masih merupakan “PR” besar bagi Pemerintah dari periode ke periode.
       Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kemiskinan menjadi isu yang selalu digaungkan di ruang-ruang publik. Karenanya, Gelora Sikka yang merupakan sebuah gerakan untuk menjadikan masyarakat berdaulat secara ekonomi sesungguhnya sangat tepat dan strategis.
      Pemerintah bertekad untuk mengembangkan pelayanan publik melalui pengalokasian anggaran pembangunan yang lebih besar pada program/kegiatan sektor unggulan dan sektor yang mendukung sektor unggulan; peningkatan tanaman Perkebunan, unggulan perikanan budidaya, perikanan tangkap; Unggulan Wisata Bahari, Unggulan Wisata Alam, Unggulan Wisata Budaya dan Religius serta ekonomi kreatif khas destinasi wisata sebagai daya ungkit pembangunan demi terwujudnya kemandirian masyarakat (RPJMD).
Efek berganda Pariwisata
      Pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan adalah pilihan yang tepat untuk mendinamisasi perekonomian Daerah. Asumsinya, jika pengembangan sarana dan prasarana pariwisata ditata secara baik didukung dengan promosi yang gencar, mampu mengundang banyak wisatawan, maka sektor-sektor lainnya akan bergerak mengikuti atau meningkat secara signifikan. Sektor pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel, restoran, industri berbasis potensi lokal dan lain-lain akan terstimulisasi secara positif (Bagian selanjutnya merupakan rangkuman dari Opini Yohanis Yanto Kaliwon, Pariwisata: Mimpi Besar Yang Menjanjikan, Flores Pos, 20/8/2010).
      Robert Wood, menulis, “…pariwisata dapat memperkuat kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan cara menambah kebanggaan setempat dan membuat kerajinan tangan dan kegiatan-kegiatan tradisional lainnya menjadi layak dikembangkan secara ekonomi(dalam: Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak,LKiS,Yogyakarta,2004:43). Dengan demikian, pariwisata juga sebenarnya mampu “meregenerasi” tradisi-tradisi komunitas adat yang mulai terkikis modernisasi di satu sisi dan memberi keuntungan ekonomis di sisi lain.
      Jika seluruh potensi pariwisata dikelola secara baik maka bukan mustahil kita mampu bersaing dengan Bali. Paket-paket wisata dengan rute Bali, NTB dan NTT sudah cukup banyak meskipun masih insidentil dan parsial. Persoalannya adalah “peluang” tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal agar wisatawan yang melewati daerah kita “betah” untuk menikmati paket-paket wisata yang menarik. Beberapa Daerah telah menangkap peluang tersebut secara baik tetapi  dampak positif ekonomisnya masih terkonsentrasi pada titik-titik lokasi pariwisata tersebut.
      Disamping itu, situs-situs bersejarah yang bernilai historis tinggi perlu dilestarikan keberadaannya. Peningkatan akses mobilitas ke titik-titik lokasi tersebut dapat memudahkan wisatawan untuk menentukan rute dan waktu perjalanannya. Lebih menarik lagi, jika di lokasi-lokasi tersebut para wisatawan dapat disuguhi pertunjukan ritus-ritus adat maupun atraksi-atraksi tradisional yang telah dikemas secara baik sebagai suguhan yang memikat wisatawan. Stuart Hall berpendapat bahwa etnis-etnis lain yang eksotik dan murni adalah sebuah fantasi Barat(dalam Yekti Maunati,2004:45). Dengan memahami orientasi wisatawan (khususnya mancanegara), kita dapat melakukan banyak terobosan untuk “menghidupkan kembali”  kesenian-kesenian tradisional, tanpa harus menanggalkan modernitas yang terus bergerak maju.
      Jika seluruh potensi pariwisata telah dikembangkan secara baik, maka promosi baik melalui media massa, brosur, website dan lain-lain adalah “sentuhan akhir yang indah” untuk meyakinkan calon-calon wisatawan yang sedang merencanakan perjalanan wisatanya. Dengan kebanggaan dan kepercayaan diri menampilkan visualisasi yang artistik, kita berani berujar “Selamat Datang” di Kabupatenku yang indah dan menawan.
Mimpi besar” untuk mengubah “padang ilalang, situs-situs tua, hamparan pasir-pasir pantai” menjadi tempat pariwisata yang menjanjikan dan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung, bukan mustahil akan membawa masyarakat dengan berbagai latar belakang profesi atau pekerjaan, menuju kesejahteraan.
      Dengan demikian, dalam semangat yang meng”Gelora”, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dalam bingkai “Satu Sikka yang Mandiri dan Sejahtera” akan tercapai. Semoga!




Komentar dengan Facebook
0 Komentar di Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar