Pos Kupang, 4 Maret 2014
“MENDULANG
EMAS” DI PUSARAN KEMISKINAN
Oleh: Yohanis
Yanto Kaliwon,MA
(Alumnus Pascasarjana JPP
Fisipol UGM, tinggal di Maumere)
Judul tulisan
ini terinspirasi dari program unggulan Pemkab Flores Timur yaitu Gerakan
Membangun Ekonomi Masyarakat atau disingkat Gerbang Emas. Peningkatan ekonomi
masyarakat (emas) merupakan salah satu langkah strategis untuk percepatan peningkatan
kesejahteraan. Artinya,
gerakan tersebut juga dapat dipahami sebagai spirit untuk membawa masyarakat
keluar dari belenggu kemiskinan. Tulisan ini tidak membahas “emas” dalam
konteks Flores Timur semata, tapi NTT secara umum.
Kemiskinan sepertinya telah menjadi
identitas ke-NTT-an. Nagekeo KLB Gizi Buruk; tiga meninggal dunia, satu dirawat
(PK,6/2), Indeks Pertumbuhan Manusia NTT berada di urutan tiga terbawah sebelum
Papua dan NTB (PK,24/1) dan banyak lagi litani kemiskinan yang didendangkan
dalam nada getir sejak dulu hingga kini. Bahkan iklan sebuah produk sabun
dengan gamblangnya menampilkan wajah NTT yang patut dikasihani, patut dibantu.
Bisnis atau sosial? Entahlah!
Kemiskinan: siapa yang salah?
Pertanyaan menggelitik tersebut menuntun
kita untuk introspeksi bersama, mengapa masyarakat sulit keluar dari lingkaran
kemiskinan? Sementara program pemberdayaan ekonomi masyarakat gencar dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten? Provinsi dengan “Anggur
Merah”, Sikka dengan “Gelora”, Flores Timur dengan “Gerbang Emas”nya, “Perak”
di Ngada dan lain-lain.
Dalam banyak hal, Negara (Pemerintah) dituding
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan. Meminjam
beberapa teori (dalam Dahuri,2003), kemiskinan dapat ditelusuri dari tiga
pendekatan yaitu struktural, kultural dan alamiah. Struktural, jika terjadi
ketimpangan distribusi sumber daya karena struktur sosial yang ada. Hanya
masyarakat yang dekat dengan kekuasaan yang mampu mengakses resources yang tersedia. Artinya, Negara
lalai. Negara tidak hadir ketika kaum marginal membutuhkan bantuan.
Sementara pendekatan kultural melihat kemiskinan karena
faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai – nilai budaya lokal
yang memang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Dan pendekatan alamiah melihat
kemiskinan lebih karena kondisi sumber daya alam yang ada tidak mendukung
mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks masyarakat
agraris, dapat digambarkan dengan gersangnya lahan.
Mengacu kepada
tiga pendekatan tersebut, ”introspeksi” kita tentu lebih mudah, lebih
mengerucut. Negara boleh jadi lalai dalam beberapa kasus. Kondisi geografis NTT
yang kepulauan, terbatasnya sumber daya dan terdapat beberapa wilayah yang terisolir
merupakan tantangan Negara yang paling serius. Contoh kasus paling aktual
adalah kelangkaan pasokan Sembako di Amfoang karena akses darat dan laut yang
terputus (PK, 7/2/2014).
Di sisi lain, persoalan kultural juga harus diakui
memberi kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kemiskinan. Budaya malas,
pola hidup konsumtif ”besar pasak dari tiang”, perjudian, dan lain-lain menggiring
masyarakat ke dalam jebakan kemiskinan yang permanen. Dan pendekatan alamiah
adalah problem utama masyarakat NTT, seperti kondisi alam yang gersang, curah
hujan yang rendah, dan lain-lain (Lihat opini Serman Nikolaus,M.Sc,PK,
25/2/2014).
Untuk memastikan
faktor mana yang paling dominan, perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang
penyebab kemiskinan di NTT. Banyak perguruan tinggi yang dapat terlibat atau
dilibatkan dalam proses ini. Setiap wilayah boleh jadi berbeda problematikanya.
Karenanya, kebijakan pengentasan kemiskinan pun tentu berbeda pula, tidak
”pukul rata”.
”Gerbang Emas”:
sebuah langkah strategis?
Gerakan membangun
ekonomi masyarakat mungkin terdengar ambisius di tengah semakin kokohnya
kapitalisme global maupun lokal. Upaya membangun ekonomi kerakyatan untuk
meningkatkan kesejahteraan telah dilaksanakan oleh Negara, sejak Orde Lama
hingga kini. Namun demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadikannya
hanya indah di atas kertas. Perlu komitmen yang kuat untuk membangun kembali
kepercayaan rakyat yang telah lama ”pudar”, membangkitkan semangat
kewirausahaan dan memanfaatkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin.
Sederhananya,
ekonomi kerakyatan harus dibangun berdasarkan apa yang ada dalam masyarakat,
bukan ”diada-adakan” (top down). Harus
ada upaya serius untuk mengidentifikasi potensi manusia dan alam di setiap
wilayah. Ada pemetaan yang gamblang dan mudah dipahami oleh semua pihak tentang
itu, sehingga proses perencanaan pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan lebih
terarah dan tepat sasaran.
Di sisi lain,
merubah pola pikir masyarakat untuk keluar dari ”zona nyaman” (bekerja untuk
sekedar memenuhi kebutuhan dasar) menjadi individu yang memiliki semangat
kewirausahaan adalah kerja-kerja pemberdayaan yang wajib dilaksanakan oleh semua
pihak (Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat itu sendiri).
Jika semua itu
dilaksanakan secara baik dan berkesinambungan pada setiap periode kepemimpinan
di level Provinsi maupun Kabupaten, maka ”gerbang emas” diasumsikan mampu
membawa masyarakat keluar dari jebakan kemiskinan permanen, menuju ke arah yang
lebih sejahtera. Dengan demikian, NTT tidak lagi mendapat berbagai julukan
”miring”, tidak lagi menjadi obyek yang patut dikasihani, apa lagi ”dijual”
untuk kepentingan kaum kapitalis. Semoga!